Senin, 22 Februari 2016

Cerpen (Kenanganku)




Setiap pertemuan selalu berpasangan dengan perpisahan.
Perpisahanan tidak akan menghapus kenangan saat pertemuan.
Karena kenangan tidak akan pernah terlupa kecuali dengan izin-Nya.

Suasana keramaian beberapa keluarga sedang berbincang dan bermain dengan anak-anak kecil mereka. Serta beberapa remaja sedang berfoto-foto bersama teman-temannya. Meski hari sudah malam namun tempat ini masih ramai dikunjungi orang. Aku menatap langit kota ini dengan seulas   senyum, ingatanku kembali pada masa dimana aku seperti pernah mengalami hal seperti ini. Secuil kenangan beberapa tahun lalu yang sangat kurindukan.
Saat itu,  aku melihat arloji di tanganku sambil berjalan menenteng beberapa belanjaan. Saat ini aku dan teman-temanku sedang berbelanja di Chiampelas Bandung. Tidak banyak yang kubeli, hanya membeli jaket dan tas untuk ibuku. Jujur ini pertama kalinya aku berada di kota Bandung. Kota dengan segala pesona yang dimilikinya serta keramahan penduduknya membuatku ingin berlama-lama di Bandung.
“Lira, temanmu bisa menemani kita ke alun-alun kan?” tanya temanku Marry.
Saat ini aku tidak sendirian di Bandung melainkan bersama teman-teman kuliahku. Aku kuliah di Universitas Lampung. Setelah kami melakukan kunjungan ke Jawa Timur kemudian berlanjut ke Bandung. Setelah tadi pagi kami ke salah satu perusahaan di Bandung, kemudian kami menuju ke Chiampelas untuk membeli beberapa oleh-oleh. Dosen pendamping kami mengizinkan untuk pergi jalan-jalan sampai batas waktu 9 malam. Tentu saja waktu ini kami gunakan dengan baik untuk tidak sekedar jalan-jalan di Chiampelas.
“Iya, dia sudah menuju kesini,”jawabku singkat.
“Oke, kita bawa barang-barang ini ke Bus lalu kita sholat, ” ucap Asti.
Setelah Sholat aku, Asti, Nita, dan Marry berjalan menuju pintu utama Ciwalk (Chiampelas Walk).
“O ya, ajak Fais juga ya. Kasihan dia sendirian,” ucap Marry.
Kami semua hanya mengannguk setuju.
“Aku sedikit lupa dengan wajah temanku itu,” ucapku sampil menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal.
“Lira,”ucap teman-temanku secara bersamaan dengan tatapan yang  menurutku cukup menyeramkan.
“Iya, tapi  dia SMS katanya sudah di Ciwalk,” ungkapku sambil tersenyum.
Aku mengedarkan pandanganku setelah hampir sampai di pintu masuk Ciwalk. Aku melihat seorang pria sedang memegang handphone seperti sedang menelfon seseorang. Setelah jarak cukup dekat, aku berniat untuk memanggilnya, meskipun tidak terlalu yakin jika itu adalah seseorang yang sedang kucari.
“Randy,”panggilku sambil melambaikan tangan.
Seseorang yang kupanggil itu tersenyum dan berjalan semakin mendekat dengan senyuman yang ramah.
“Sudah dari tadi?” tanyaku pada Randy.
“Belum, baru saja masuk,”  jawabnya dengan senyuman ramah.
Kulihat Fais sudah ada di dekat kami. Entah darimana datanganya.
“O ya, ini Fais temanku,” aku mengenalkan Fais pada Randy.
Fais dan Randy berjabat tangan.
“Kemudian ini Asti, Marry, dan Nita.” aku juga mengenalkan teman-temanku yang perempuan.
Tenang, aku sudah tau jika dirinya tidak akan berjabatan tangan dengan perempuan. Teman-temanku pun juga sudah paham dengan hal itu.
“Kita akan kemana?” tanya Randy pada kami sambil berjalan menuju pintu keluar ciwalk.
“Ke alun-alun ya,” usul Merry.
“kakak kesini naik apa?” tanya Nita.
Nita memanggilnya kakak? Nyaris tawaku hampir meledak saat itu juga. Lucu mendengar Randy dipanggil kakak oleh teman yang terlihat seumuran.
“Naik angkut tadi,” jawab Randy dengan senyum ramahnya.
“Hah? Naik angkut. Wah , maaf ya a kami jadi ngerepotin,”  ungkap Asti dengan wajah memelas.
“Iya kak, kan jadi ngerepotin,” tambah Merry dengan wajah yang tidak kalah memelas dari Asti.
Kakak, aa, dan embel-embel paggilan yang sebenarnya ingin membuatku tertawa. Apalagi dengan panggilan aa, mengingat dulu ketika Randy berbicara dengan temannya dengan bahasa jawa yang sangat medok. Oke, mungkin karena Randy sudah hampir 3 tahun kuliah di Bandung sehingga logat jawanya sudah terganti dengan logat sunda.
“Tidak perlu sungkan ,” jawab Randy sambil tersenyum.
“Katanya tadi sedang sibuk tidak bisa menemani?” tanyaku pada Randy sambil mengikuti langkahnya mencari angkut untuk menuju alun-alun Bandung.
“Iya , tadi sedang di kostan. Sudah lama tidak di kostan,”  jawabnya sambil berjalan.
“Lama tidak di kostan?” tanyaku heran.
“Iya, biasanya di asrama jadi jarang di kostan,”  jawabnya lagi.
“Asrama, asrama beasiswa?” tanyaku, wajar karena dia cukup pintar ketika SMA.
“Bukan asramanya itu pondok, Randy ikut PPM,” ucapnya.
Aku mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

Kemudian kami naik ke angkut yang menuju ke alun-alun Bandung. Dudukku tepat berhadapan dengan Randy. Randy dan aku memang sangat jauh dari kata akrab. Kami hanya saling mengenal karena kami 1 SMA. Aku pernah menghubungi Randy karena aku ingin meminta kontak teman SMA yang kuliah di jurusan Manajemen Pariwisata untuk membantu menyelesaikan tugas kuliah.
Perbincangan ringan di angkut membuat kami tidak terasa bahwa kami sudah sampai di pemberhentian dekat alun-alun. Setelah turun dari angkut kami berjalan menuju alun-alun. Randy dan Fais berjalan di depan. Kemudian aku, Nita, Asti, dan Merry berjalan dibelakang mereka.
Aku berjalan sambil memandangi punggung Randy. Tinggi badanya sudah pasti diatasku. Penampilan dengan jaket Adidas berwaran biru corak putih, celana dasar, sepatu kets berwarna hitam corak putih, dan tas Eiger warna hitam yang digendongnya. Penampilan yang sederhana jika dibandingkan dengan kehidupan di kota yang ramai seperti ini.
Aku masih tidak menyangka jika aku bisa bertemu dengannya disini. Seseorang yang 1 bulan ini pernah aku kagumi. Aku menghelas nafas dan memandang jalanan. Aku baru mengaguminya saat dia berada jauh dari jangkauan pandanganku. Kemana saja aku selama 3 tahun saat dia masih berada dalam jangkauanku. Aku sibuk dengan perasaan kagumku pada Rudy, sehingga aku tidak melihat sosok Randy.
 Waktu takkan bisa terulang lagi, namun harus menyadari membuat kenangan baru lebih baik daripada menyesali sesuatu yang sudah berlalu.
Ya, aku akan membuat kenangan baru di Sini. Setidaknya aku bisa memilliki secuil kisah yang kelak akan aku ceritakan kepada orang terdekatku. Secuil kisah di kota kembang.  Aku terseyum simpul dan memandangi keramaian di pusat kota Bandung.
Adzan magrib berkumandang, kami segera masuk ke dalam Masjid. Kami akan melaksanakan sholat maghrib di Masjid Raya Bandung. Dimana di depan masjid adalah alun-alun kota yang menjadi tujuan kami. Setelah melaksanakan Sholat maghrib kami segera menuju alun-alun. Kulihat Randy melepas sepatu dan tidak lama kemudian Fais juga mengikutinya.
“kenapa sepatunya dilepas?” tanyaku polos.
“Lira, ini rumput sintesis jadi sepatu harus dilepas,” jawab Asti.
Setelah melihat orang-orang yang sedang bermain di lapangan tidak memakai alas kaki barulah aku melepas sepatuku tapi tetap saja aku bisa masuk angin karena kaus kakiku tidak kulepas. Biarlah, kapan lagi bisa bersenang-senang di Bandung.
Setelah puas bermain dan berfoto-foto di alun-alun kami segera menuju ke ciwalk karena perjanjian kami dengan dosen adalah berkumpul sebelum pukul 9 malam. Kami naik angkut sebanyak 2 kali untuk kembali ke ciwalk. Sudah kuupastikan jika aku sendirian di Bandung kemungkinan akan hilang adalah 90%. Jalur yang berbeda antara pulang dan pergi, warna-warna angkut dan lain-lain.
“Kakak jurusan apa kuliahnya? tanya Marry pada Randy.
“Pendidikan Sosilologi” jawab Randy.
“wah, jurusan yang diimpikan Lira. Oops,” ucap Marry sambil menutup mulutnya karena keceplosan.
“Lapar, makan yuk?”  ajak temanku Asti si banyak makan meskipun badanya kurus.
Kemudian kami mampir di warung makan pinnggir jalan. Kami memesan nasi goreng dan mi rebus. Tempat duduk yang lumayan minim. Karena aku belum menemukan tempat duduk.
Di pinggir Asti sudah ada orang. Tempat yang masih tersisa hanyalah di Samping Marry dan tidak jauh dari situ adalah tempat duduk Randy. Mau tidak mau aku harus duduk disitu jika tidak maka aku akan makan sambil berdiri. Setelah itu pesanan kami segera dihidangkan. Aku hanya senyum-senyum mendengar Fais dan Randy berbincang tentang jodoh dari perjalanan turun dari angkut sampai di tempat makan.
“Jika kalian harus memilih, maka kalian akan memilih pilhan orangtua atau ustad kalian?” tanyaku pada mereka. Lebih tepatnya pada Fais dan Randy.
“Orangtua,” jawab Randy.
Aku mengangguk setuju dengan jawaban Randy.
“Kalian ini ngobrolin jodoh, Lira diam-diam sudah ingin menikah,” celetuk Marry sambil tertawa.
“Lira sudah ingin menikah?” tanya Randy.
“Belum, Randy jangan dengar mereka. Lira masih ingin bekerja dulu dan membahagiakan orangtua.Memang Randy tidak ingin bekerja?” tanyaku padanya sambil menatap meja makan. Meskipun kami sering berbincang tapi sekalipun aku tidak berani menatap matanya dan wajahnya.
“Iyalah ingin bekerja. Ibu meminta untuk kerja di Bandung tapi ibu tidak mengizinkan jika aku menikah dengan wanita Bandung. Entah apa alasannya” jawab Randy.
Aku tersenyum dan mengangguk setuju karena menurutku Bandung kota yang cukup menyenangkan untuk bekerja.
“Belum lama ini ibu kesini, padahal ibu mabuk kendaraanya sangat parah. Sudah kukatakan kalau Bandung itu jauh, biar Randy saja yang pulang. Tapi ibu tetap bersikeras ingin kesini,”  ungkapnya.
“Namanya juga orangtua, bagaimanapun ingin mengetahui kediaman anaknya di perantauan,” ucapku.
Randy tersenyum dan mengangguk setuju. Setelah itu kami mengalihkan perbincangan tentang organisasi di kampus kami masing-masing. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam dan kami telah menyelesaikan makan.
“o ya, temani aku beli jaket ya,” ajak Fais.
“Belum sholat Isya,” jawabku.
“Sudah aku jamak, memang tidak kamu jamak tadi ra?” tanya Fais.
Aku hanya menggeleng.
Fais, Nita, dan Marry membeli jaket. Aku, Asti, dan Randy pergi ke masjid untuk Sholat.
“Sudah bawa mukena?” tanya Randy.
“Sudah,” jawabku singkat.
“Sebaiknya tadi sholatnya sekalian dijamak saja. Karena kalian tidak menetap selama 3 hari dan itu mendapatkan keringanan untuk menjamak sholat. Jika sudah ada keringanan yang seperti itu alangkah baiknya jika itu yang dilaksanakan,” ungkap Randy.
“Nah loh ra, diceramahin sama Randy,” bisik Asti padaku dan aku hanya tersenyum.
Setelah kami sampai di depan masjid, kami cukup tercengang dengan keadaan yang kami lihat. Lampu masjid sudah padam dan masjid sudah dikunci. Sedangkan masjid kampus saja saat pukul 8 malam masih cukup ramai, terang, dan tentu saja pintunya masih terbuka.
“Ini tempat wudhu pria, tempat wudhu wanita sepertinya disebelah sana,” tunjuk Randy kearah sebeah kanan masjid. Aku dan Asti berjalan kearah yang telah ditunjukkan oleh Randy. Tempat yang sangat sepi dan tidak ada penerangan cahaya. Alhasil aku dan Asti kembali menemui Randy.
“Randy, disana tidak ada tanda-tanda kehidupan. Maksudku tanda-tanda kalau disana ada tempat wudhu,” ungkapku pada Randy.
“Ya sudah kalian wudhu di sebelah sini yang bagian dalam saja,” ucap Randy yang kemudian berjalan menuju masjid.
Setelah selesai berwudhu aku mengeluarkan mukena dan memakainya.
Astaghfirullah, mukenaku tertinggal di dalam bus rombongan,” ungkap asti dengan nada panik.
“Kenapa tadi tidak meminjam Marry,” ucapku.
“Kan tadi sudah ditanya apa sudah bawa mukena atau belum. Tadi jawabanya sudah,” ungkap Randy sambil mencari-cari sesuatu di rak kayu samping masjid.
“Tadi Lira yang menjawab sudah,”ucapku.
“Yasudah kalian sholat dulu saja, aku juga mau pakai bedak biar tidak terlihat kusam,” ucap Asti.
Randy memberikan alas sholat padaku, ternyata dari tadi yang sedang dicari adalah alas sholat.
“Sholat jamaah?” tanyaku karena dari tadi dia tidak memulai sholatnya.
“Iya,” jawab Randy singkat kemudian mulai mengimami sholat.
Aku menggelar alas sholat dibelakangnya. Kemudian kami sholat isya berjamaah di pelataran masjid. Ya Allah, bolehkah aku meminta jika Randy tidak hanya menjadi imam di sholat Isyaku ini. Tapi juga menjadi imam dihidupku. Astaghfirullah, aku segera mefokuskan konsentrasi sholatku yang sempat terganggu.
Setelah Sholat isya , aku menghubungi Ibuku di Rumah dan Randy Tilawah Al-Qur’an di androidnya. Sementara asti sedang sholat. Setelah semuanya selesai kami berjalan menuju parkiran Bus. Saat di dekat bus kami juga bertemu dengan teman-teman kampus Randy. Kebetulan teman kami juga berteman dengan teman-teman Randy.
“Lira, sudah malam. Kasihan Randy, suruhlah untuk pulang,”  ucap Marry.
Aku berjalan mendekati Randy.
“Randy, sudah malam apa sebaiknya tidak pulang. Randy juga pasti lelah karena menemani kami,” ucapku padanya karena kulihat dia sudah terlihat lelah apalagi tadi pagi dia ada UAS di kampusnya.
“Tidak, nanti saja,” jawabnya singkat sambil tersenyum.
“Nanti Randy pulangnya kemalaman loh,” ucapku dengan nada khawatir apalagi dia terjebak di sini karena menjadi pemanduku dan teman-temanku.
“Di Bandung angkut itu sampai malam lira, lagipula aku bisa pulang bersama teman-temanku yang masih disini,” jelasnya yang seolah berusaha untuk tidak membuat diriku khawatir padanya.
Kulihat teman-teman kampusnya juga sedang berbincang-bincang dengan teman-teman kampusku di samping mobil bus.
Disampingku dan Randy ada Marry dan Asti yang sedang menggoda Fais karena sepertinya Fais memiliki wanita idaman yang disukainya dan berbeda fakultas. Akupun juga ikut mendengarkan pembicaraan mereka.
“Jika ada orang sholeh yang melamar jangan ditolak ya,” ucap Randy.
Aku segera menoleh kearahnya dan Randy hanya memandang lurus ke depan.
“Maksudnya?”tanyaku padanya terheran karena tiba-tiba Randy mengatakan hal itu padaku. Lalu  Apa benar hanya aku yang diajaknya berbicara.
“Ya, jika ada orang sholeh yang melamar jangan ditolak,” ucapnya lagi mengulangi kalimat yang barusaja diucapkannya.
Aku mendengar kalimat itu Randy tidak perlu kau ulangi, tapi apa makssud dari ucapanmu tadi. Begitu absurd, ambigu, dan hanya menyisakan teka-teki yang tak terjawab dikepalaku. Jika benar orang sholeh yang kau maksud adalah dirmu. Jangan sampai aku menyimpulkan sesuatu tanpa tahu pendapat yang lain. Aku segera menggelengkan kepala dan sadar diatas logika lagi.
“Jika orangtua terutama Ayahku sudah menyetujuinya ya tidak akan kutolak. Apalagi aku wanita dan ayahku adalah waliku. Jika mereka tidak mengizinkan aku bisa apa,” jawabku.
“Iya benar, restu orangtua itu sangat penting,” ungkapnya dengan tetap menatap kedepan.
Aku menatap langit Bandung, meresapi setiap momen yang ada. Aku menoleh ke kiri sekilas kulihat Randy disampingku. Bolehkah aku berharap jika orang sholeh yang kau maksud adalah dirimu Randy dan aku sudah berjanji tidak akan menolak. Sekali lagi jika itu adalah dirimu. Namun jika bukan dirimu maka nasehatmu itu akan selalu kuingat. Rasanya aku ingin waktu sekejap saja berhenti. Sedikit lama untuk tetap berada disini. 3 tahun tidak melihatmu telah mengubah perasaanku yang tadinya biasa saja ketika ada dirimu menjadi tidak biasa. Sang pencipta telah membolak-balikkan hatiku saat ini. Hh, Randy itu lebih layak kusebut unpredictableone. Seseorang dengan segala sesuatu yang tidak dapat diterka.
Angin semilir mengayunkan daun pepohonan kecil di dekat ciwalk. Aku masih menikmati suasana ini. Kenapa Randy datang ketika kuminta untuk menjadi pemanduku dan teman-temanku. Padahal kami tidak akrab satu sama lain ketika SMA. Kenapa belum pulang ketika kuminta untuk pulang. Satu lagi kenapa mengucapkan kalimat yang begitu ambigu. Bisa saja orang akan menyalah artikan apa yang diucapkannya tadi dan tidak terkecuali diriku ini.
Randy, jika memang kelak doaku tadi terkabul maka aku sangat bersyukur. Namun jika bukan dirimu, aku akan belajar memahami bahwa pilihanNYAlah yang terbaik untukku. Pertemuan ini akan menyisakan kenangan manis dihatiku. Meskipun kenangan yang  sangat singkat. Bukan dari singkat atau panjangnya kenangan itu tapi bagaimana kita memaknai kenangan tersebut dan memasukkannya ke hati dan tidak dilepaskan.
Jam sudah menunjukkan angka 9. Rombongan segera masuk ke dalam Bus. Teman-temanku mulai berpamitan pada Randy.
“Randy, terimakasih ya atas waktunya. Maaf merepotkanmu,” pamitku pada Randy.
“Iya, tidak apa-apa lira. Hati-hati ya,” ucapnya sambil tersenyum.
Aku membalas senyumnya, melambaikan tangan, dan masuk ke dalam Bus. Malam ini rasanya seperti mimpi. Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Keduanya kualami hari ini dengan Randy. Sungguh, jika diizinkan aku masih tetap ingin di sini, di Bandung kota dengan segala pesonanya dan kenangan yang indah.
Bus mulai berjalan, kulihat kearah kaca jendela Randy sedang berbincang dengan temannya.
Selamat tinggal Bandung, Insha Allah aku kan datang kembali dengan cerita yang lebih berarti.
Selamat tinggal Randy, semoga bisa bertemu kembali entah itu di Bandung atau Lampung.
“Sedang memikirkan apa ?” tanya seseorang disebelahku yang mengagetkanku dan menghentikan kenangan yang saat ini tengah berputar diingatanku.
“Aku merindukan kenangan beberapa tahun silam di tempat ini,” jawabku sambil memandang pada lapangan alun-alun yang tengah ramai orang dengan tatapan nanar.
Angin malam bersemilir membuat pipiku menjadi dingin. Seseorang disebelahku tersenyum dan memakaikan topi jaketku dan menyentuh pipiku. Akupun membalas senyuman manisnya. Kemudian aku bersandar dibahunya sambil menikmati suasana malam hari di pusat kota kembang.
“Apa kau sangat merindukan kenangan itu?”  tanya seseorang disampingku itu.
Aku mengangguk dan tersenyum. Bagaimana mungkin aku tidak merindukan kenangan saat itu meski hanya beberapa jam lamanya. Kenangan dengan seseorang yang sering kurindukan dikala jauh maupun dekat. Sepotong kenangan kala itu yang sering membuatku tersenyum dan haru ketika mengingatnya.
“Ayo ikut aku,” ajak seseorang di sampingku yang kemudian berdiri dan menggandengku berjalan.
Aku hanya mengikutinya tanpa berkata apapun. Sampailah kami di depan sebuah masjid yang cukup terang namun sepi.
“Ayo sholat isya,” ajaknya.
Kemudian aku mengambil air wudhu begitupun dengan seseorang tersebut. Kulihat seseorang tersebut telah memasuki masjid dan aku segera menyusul masuk. Setelah aku selesai memakai mukena seseorang tersebut menoleh dan tersenyum kembali padaku.
“Sholat jamaah?” tanyaku padanya karena kulihat dari tadi seseorang itu belum memulai sholatnya.
“Iya,” jawabnya dengan singkat kemudian mulai mengimami sholat .
Kemudian aku menggelar alas sholat dibelakangnya, kami sholat Isya berjamaah. Alhamdulillah, Engkau telah mengabulkan doaku. Karena saat ini Randy tidak hanya menjadi imam di sholat Isyaku saat itu. Tapi juga menjadi imam dihidupku yang akan menuntunku dan keluarga kami ke jannahMu.
Jarak itu sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan. (Puisi Joko Pinurbo).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar