Setiap pertemuan selalu berpasangan
dengan perpisahan.
Perpisahanan tidak akan menghapus
kenangan saat pertemuan.
Karena kenangan tidak akan pernah
terlupa kecuali dengan izin-Nya.
Suasana
keramaian beberapa keluarga sedang berbincang dan bermain dengan anak-anak
kecil mereka. Serta beberapa remaja sedang berfoto-foto bersama teman-temannya.
Meski hari sudah malam namun tempat ini masih ramai dikunjungi orang. Aku
menatap langit kota ini dengan seulas senyum,
ingatanku kembali pada masa dimana aku seperti pernah mengalami hal seperti
ini. Secuil kenangan beberapa tahun lalu yang sangat kurindukan.
Saat
itu, aku melihat arloji di tanganku
sambil berjalan menenteng beberapa belanjaan. Saat ini aku dan teman-temanku
sedang berbelanja di Chiampelas Bandung. Tidak banyak yang kubeli, hanya
membeli jaket dan tas untuk ibuku. Jujur ini pertama kalinya aku berada di kota
Bandung. Kota dengan segala pesona yang dimilikinya serta keramahan penduduknya
membuatku ingin berlama-lama di Bandung.
“Lira,
temanmu bisa menemani kita ke alun-alun kan?” tanya temanku Marry.
Saat
ini aku tidak sendirian di Bandung melainkan bersama teman-teman kuliahku. Aku
kuliah di Universitas Lampung. Setelah kami melakukan kunjungan ke Jawa Timur
kemudian berlanjut ke Bandung. Setelah tadi pagi kami ke salah satu perusahaan
di Bandung, kemudian kami menuju ke Chiampelas untuk membeli beberapa
oleh-oleh. Dosen pendamping kami mengizinkan untuk pergi jalan-jalan sampai
batas waktu 9 malam. Tentu saja waktu ini kami gunakan dengan baik untuk tidak
sekedar jalan-jalan di Chiampelas.
“Iya,
dia sudah menuju kesini,”jawabku singkat.
“Oke,
kita bawa barang-barang ini ke Bus lalu kita sholat, ” ucap Asti.
Setelah
Sholat aku, Asti, Nita, dan Marry berjalan menuju pintu utama Ciwalk
(Chiampelas Walk).
“O
ya, ajak Fais juga ya. Kasihan dia sendirian,” ucap Marry.
Kami
semua hanya mengannguk setuju.
“Aku
sedikit lupa dengan wajah temanku itu,” ucapku sampil menggaruk kepalaku yang
sebenarnya tidak gatal.
“Lira,”ucap
teman-temanku secara bersamaan dengan tatapan yang menurutku cukup menyeramkan.
“Iya,
tapi dia SMS katanya sudah di Ciwalk,” ungkapku
sambil tersenyum.
Aku
mengedarkan pandanganku setelah hampir sampai di pintu masuk Ciwalk. Aku
melihat seorang pria sedang memegang handphone
seperti sedang menelfon seseorang. Setelah jarak cukup dekat, aku berniat untuk
memanggilnya, meskipun tidak terlalu yakin jika itu adalah seseorang yang
sedang kucari.
“Randy,”panggilku
sambil melambaikan tangan.
Seseorang
yang kupanggil itu tersenyum dan berjalan semakin mendekat dengan senyuman yang
ramah.
“Sudah
dari tadi?” tanyaku pada Randy.
“Belum,
baru saja masuk,” jawabnya dengan
senyuman ramah.
Kulihat
Fais sudah ada di dekat kami. Entah darimana datanganya.
“O
ya, ini Fais temanku,” aku mengenalkan Fais pada Randy.
Fais
dan Randy berjabat tangan.
“Kemudian
ini Asti, Marry, dan Nita.” aku juga mengenalkan teman-temanku yang perempuan.
Tenang,
aku sudah tau jika dirinya tidak akan berjabatan tangan dengan perempuan.
Teman-temanku pun juga sudah paham dengan hal itu.
“Kita
akan kemana?” tanya Randy pada kami sambil berjalan menuju pintu keluar ciwalk.
“Ke
alun-alun ya,” usul Merry.
“kakak
kesini naik apa?” tanya Nita.
Nita
memanggilnya kakak? Nyaris tawaku hampir meledak saat itu juga. Lucu mendengar
Randy dipanggil kakak oleh teman yang terlihat seumuran.
“Naik
angkut tadi,” jawab Randy dengan senyum ramahnya.
“Hah?
Naik angkut. Wah , maaf ya a kami jadi ngerepotin,” ungkap Asti dengan wajah memelas.
“Iya
kak, kan jadi ngerepotin,” tambah Merry dengan wajah yang tidak kalah memelas
dari Asti.
Kakak,
aa, dan embel-embel paggilan yang sebenarnya ingin membuatku tertawa. Apalagi
dengan panggilan aa, mengingat dulu ketika Randy berbicara dengan temannya
dengan bahasa jawa yang sangat medok.
Oke, mungkin karena Randy sudah hampir 3 tahun kuliah di Bandung sehingga logat
jawanya sudah terganti dengan logat sunda.
“Tidak
perlu sungkan ,” jawab Randy sambil tersenyum.
“Katanya
tadi sedang sibuk tidak bisa menemani?” tanyaku pada Randy sambil mengikuti
langkahnya mencari angkut untuk menuju alun-alun Bandung.
“Iya
, tadi sedang di kostan. Sudah lama tidak di kostan,” jawabnya sambil berjalan.
“Lama
tidak di kostan?” tanyaku heran.
“Iya,
biasanya di asrama jadi jarang di kostan,” jawabnya lagi.
“Asrama,
asrama beasiswa?” tanyaku, wajar karena dia cukup pintar ketika SMA.
“Bukan
asramanya itu pondok, Randy ikut PPM,” ucapnya.
Aku
mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.